Halaman

Selasa, 02 Juni 2009

WAROK


Selain reog, ternyata warok juga sangat dominan di Ponorogo. Warok merupakan warisan budaya leluhur yang berkembang turun-temurun dan menjadi satu penyangga keutuhan daerah Ponorogo sejak masa lalu. Tak bisa dipungkiri, memang terjadi aneka ragam penafsiran mengenai warok.

Hampir tidak ada kepastian yang bisa mengklaim kebenaran seiring dengan perkembangan budaya. Namun, akhirnya pasti akan ditemukan sintesa dari kesamaan maksud atas makna yang berkembang itu. Apalagi warok sudah ada sejak zaman Wengker Kuno. Sejak runtuhnya Kerajaan Medang Prabu Darmawangsa Teguh, muncul kerajaan baru. Misalnya Kerajaan Wengker di Gunung Lawu dan Gunung Wilis.

Kerajaan Wengker didirikan Ketut Wijaya. Ia memang tidak ada hubungannya dengan Raden Wijaya pendiri Majapahit itu. Ketut Wijaya sering dikatakan mempunyai cara hidup seperti rahib Buddha, yang ditandai dengan laku membujang, memiskinkan diri dan ahimsa. Perilaku raja ini memperoleh respons dari pengikutnya dan berkembang ke masyarakat.

Raja ini juga mengangkat punggawa dan prajurit yang diambil dari pemuda-pemuda dan warok. Namun, tahun 1035 Kerajaan Wengker ini dikuasai Airlangga dan namanya diubah menjadi Kahuripan. Meski begitu, para warok tetap melanjutkan kehidupan sucinya. Sebagian ada yang menjadi penguasa lokal, yang dipercaya raja untuk mengendalikan wilayahnya.


Cikal bakal warok, berkesinambungan lagi setelah masa akhir Majapahit, sekitar 1450. Pada waktu itu Prabu Brawijaya V mempercayakan Ki Demang Suryonggalam untuk menjaga bekas Kerajaan Wengker. Ki Demang adalah kerabat sang prabu dan merupakan pemimpin warok. Kemudian sang demang menghimpun para warok untuk digembleng menjadi perwira tangguh. Momentum inilah, yang sering dikatakan sebagai cikal bakal eksistensi warok tahap kedua.

Para warok lebih eksis lagi setelah Bethara Katong mengambil alih kekuasaan Demang Suryangalam. Lantas mendirikan Ponorogo, dan memberi kedudukan yang istimewa pada para warok. Katong tahu, warok-warok itu punya kultur Hindu Buddha. Namun mereka sangat dipercaya masyarakatnya. Sementara Katong sendiri beragama Islam. Maka, terjadilah akulturasi budaya yang cantik antara Hindu Buddha dan Islam. Sejak Bethara Katong itulah posisi warok sangat istimewa di kalangan masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar